Aku merasa iri melihat teman-teman bebas bergaul dengan sesama. Ketika di waktu senggang mereka bisa bercengkerama, bisa bergaul atau bahkan bisa menjalin kasih dengan kekasih hati. Selama ini aku dibelit aturan yang tidak boleh meninggalkan rumah seakan kebebasanku dibelenggu. Hidup hanya kujalani untuk sekedar makan, tidur dan buang air saja. Hampir seluruh hidupku kugunakan meratapi nasib.
Dalam kesepian seringkali aku menangis, mengapa nasibku begitu buruk. Hidup terasa hampa. Cerita teman-temanku tentang alam, air yang mengalir, tentang rupawannya pujaan hati membuat aku semakin sedih. Aku tidak pernah merasakan bahagia. Setiap hari aku menyaksikan teman-temanku saling memadu kasih dengan pasangannya. Ingin rasanya aku mengalami, namun apa daya, belenggu ini begitu kokoh. Aturan ini begitu membuat ruang gerakku sangat terbatas. Yang bisa aku lakukan hanya menjadi pendengar setia dari teman-temanku akan kegiatan sehari-hari. Ketika Cathy si putih mulus menceritakan bahwa dia baru mendapat kekasih baru warga gang sebelah, setelah putus dengan kekasih lamanya. Begitu mudahnya dia berganti pacar. Padahal belum genap sebulan putus dengan pacar lamanya. Mendengar cerita ini hatiku semakin pilu. Rasa iri terasa melanda hati.
Hingga pada suatu hari aku mendengar berita dari teman-teman bahwa kita tidak akan berjumpa Cathy lagi. Ada rasa sedih menyelinap dalam hati. Aku kehilangan seorang teman yang periang dan lincah. Menurut temanku Cathy telah disembelih untuk lauk majikannya.
Dibalik kesedihan ada seutas rasa lapang di dada. Aku menyadari bahwa sebagai maya saih (baca: ayam hias), tidak mungkin aku disembelih majikan. Majikanku merasa sayang padaku. Meskipun kebebasanku terampas, paling tidak aku tidak akan bernasib tragis seperti cathy.
Istilah2 dalam cerita ini:
Pacar, kekasih: pejantan
Maya: ayam
Cathy (siputih mulus): ayam kate berbulu putih polos
Majikan: pemilik ayam
Rumah: kandang, sangkar
Buat yang merasa tertipu penulis ucapkan ayam sori :r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar